Senin, 18 Mei 2020

ADA CERITA TENTANG CITA-CITA DI TENGAH PANDEMI CORONA



“Bahkan jika kabut asap merupakan risiko bagi kehidupan manusia, kita harus ingat bahwa kehidupan di alam, tanpa teknologi adalah kematian yang besar” Ayn Rand.

            Saat ini dunia tengah dilanda virus corona atau yang lebih dikenal dengan istilah COVID-19. Virus corona ini ditetapkan sebagai pandemi atau wabah global oleh World Health Organization (WHO). Penularan yang sangat cepat, rumitnya penanganan, dan belum ditemukannya obat untuk virus ini menyebabkan banyak pihak mengalami kerugian. Mulai dari memakan banyak korban, keadaan ekonomi negara yang mulai merosot, hingga bidang pendidikan pun tak luput terkena imbasnya.

            Banyak upaya yang telah dikerahkan oleh berbagai pihak, salah satunya ialah pemerintah. Pemerintah telah memberikan alternatif terbaik untuk mengurangi dampak penyebaran virus corona, salah satunya ialah dengan mengeluarkan kebijakan penerapan pembatasan interaksi sosial atau yang biasa disebut dengan istilah social distancing. Penerapan pembatasan interaksi sosial di kalangan masyarakat dapat dikatakan sangat efektif dalam memutus rantai penyebaran virus corona. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan ini juga dapat menghambat berbagai atau bahkan semua aktivitas bidang kehidupan. Banyak bidang kehidupan yang terkena imbas dari penerapan kebijakan social distancing ini, mulai dari bidang kesehatan, ekonomi, pemerintahan, politik, bahkan sampai bidang pendidikan.

            Sebagai salah satu bidang yang terkena imbas dari penerapan kebijakan pembatasan interaksi sosial dari pemerintah, bidang pendidikan tentu juga mengalami kesulitan. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan surat edaran bahwa segala bentuk kegiatan belajar mengajar selama pandemi corona berlangsung, antara peserta didik dan tenaga pendidik dilakukan dari rumah. Pembelajaran yang awalnya dilakukan secara tatap muka, mendadak mengalami perubahan signifikan menjadi pembelajaran yang berbasis daring atau online. Kegiatan ini dapat dilaksanakan melalui sistem e-learning atau sejenisnya, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung seperti biasa. Akan tetapi, untuk menerapkan kebijakan belajar dari rumah tidak dapat dilaksanakan dengan begitu mudah. Masih banyak lembaga pendidikan yang tidak siap dalam melaksanakan pembelajaran secara daring. Ketidaksiapan pihak sekolah ini, dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari penguasaan teknologi yang masih rendah, keterbatasan sarana dan prasarana sekolah, jaringan internet, kendala biaya, dan kedala lainnya.

            Ketidaksiapan pihak sekolah dalam menerapkan pembelajaran daring, salah satunya ialah karena belum memiliki akses terhadap sistem pembelajaran online atau yang biasa disebut dengan e-learning. Padahal Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyiapkan banyak portal untuk melaksanakan pembelajaran berbasis e-learning. Akan tetapi, e-learning sendiri belum begitu membudaya atau menjadi kebiasaan dalam kegiatan pembelajaran di Indonesia. Oleh karena itu, dengan adanya wabah corona ini diharapkan e-learning dapat menjadi solusi dan budaya atau kebiasaan baru pada lembaga pendidikan di Indonesia.

            Faktor lain yang mempengaruhi sukses atau tidaknya penerapan kebijakan belajar dari rumah ialah kesiapan dari peserta didiknya sendiri. Banyak dari peserta didik di Indonesia yang belum memahami kemajuan teknologi saat ini dan paling parahnya, banyak dari mereka yang belum atau bahkan dapat dikatakan kurang memahami pentingnya pendidikan. Padahal, sebenarnya yang dapat mengatasi dan juga mengurangi permasalahan ini ialah diri mereka sendiri. Dengan adanya kemauan dan kesadaran yang kuat dari peserta didik, tentu akan mempermudah mereka dalam meraih cita-citanya. Bagaimana mereka dapat meraih impiannya, jika kesadaran dari diri mereka saja masih rendah, apalagi saat terjadi pandemi seperti saat ini. Banyak impian dan cita-cita yang harus mereka raih agar memperoleh kehidupan yang sukses suatu saat kelak. Tapi, bagaimana mereka dapat meraihnya, jika mereka saja menutup diri akan kemajuan teknologi dan cenderung tidak mau belajar memahami kemajuan teknologi saat ini. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran dari seluruh masyarakat, bukan hanya peserta didik, namun juga tenaga pendidik dan kependidikan, orang tua peserta didik, dan pihak-pihak lainnya. Karena untuk memajukan pendidikan tidak hanya diperlukan peran pemerintah, namun juga memerlukan aspirasi dan dukungan dari seluruh unsur masyarakat.

             Penerapan budaya pembelajaran berbasis e-learning sendiri tidaklah mudah, apalagi saat pandemi corona seperti saat ini. Diperlukan sebuah proses yang cukup lama agar pembelajaran e-learning  dapat menjadi budaya atau kebiasaan di Indonesia. Kesiapan akses teknologi, keterampilan tenaga pendidik dan peserta didik dalam menggunakan teknologi, dan juga kesiapan institusi atau lembaga merupakan indikator yang sangat mempengaruhi efektivitas kegiatan belajar mengajar dengan e-learning. Agar penerapan pembelajaran dengan e-learning dapat efektif diperlukan pengelolaan yang baik pula. Oleh karena itu, untuk membantu mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh wabah corona khususnya pada bidang pendidikan, perlu dibuat pengelolaan sistem e-learning untuk mempermudah proses pembelajaran. Selain pengelolaan sistem e-learning, juga diperlukan kesadaran dan kemauan dari semua pihak, agar tidak menutup diri dari kemajuan teknologi. Dengan begitu, penerapan kebijakan belajar dari rumah dapat berjalan dengan optimal, dan pembelajaran berbasis e-learning dapat membudaya atau menjadi kebiasaan baru di Indonesia.

Jumat, 10 April 2020

Secercah Pencerahan Untuk Kebangkitan Pendidikan


 Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk mengubah dunia Nelson Mandela.
           
         Indonesia itu kaya raya. Kaya akan hasil laut, hasil tanah, keanekaragaman hayati, dan kekayaan lainnya. Tambang emas, tambang timah, dan hasil bumi lainnya ada dimana-mana. Tapi gimana pendidikannya? Iya, pendidikan yang khususnya ada di berbagai pelosok negeri ini. Gimana sekolah-sekolah disana?. Sekolah yang jauh dari kata sempurna, sekolah yang hampir roboh, dan sekolah yang bahkan hampir tidak jelas bentuknya. Kalau bicara tentang sekolah yang seperti ini, rasanya jadi ingat film Laskar Pelangi. Film yang mengisahkan bagaimana anak-anak miskin bisa sekolah dengan murah disalah satu pulau terkaya di Indonesia. Tau kan Pulau Belitung? Pulau yang kaya akan timahnya, bahkan tambang timah merajalela dimana-mana bak tumpukan jerami ketika musim panen padi tiba. Tapi anak-anak disana tidak pernah sedikitpun pantang menyerah. Semangat mereka yang tidak pernah pudar untuk mendapatkan pendidikan, walaupun dengan sekolah yang biasa saja dengan sarana dan prasarana kurang memadai.

            Kalau bicara masalah sarana dan prasarana pendidikan asik sepertinya, karena tidak akan pernah ada habisnya. Pernah ngga sih kita berpikir, bahwa sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu hal yang menentukan apakah anak-anak ini akan  mendapatkan pendidikan yang layak atau justru langsung jadi kuli dan bekerja di tanah perantauan. Baiklah, kita kupas satu-persatu dari akses anak-anak pelosok negeri ini berangkat dan pulang sekolah. Jalan sempit (atas bukit bawah jurang), jalan becek, menyebrangi sungai, tidak ada kendaraan sehingga mengharuskan mereka untuk berjalan kaki berkilo-kilo meter jaraknya, hanya untuk mendapatkan sesuap materi pelajaran. Ada kendaraan mungkin hanya sepeda kayuh, tapi jalannya tidak memungkinkan mereka untuk mengendarainya. Sepeda motor? Mungkin ada, tapi hanya satu dua orang yang memilikinya. Permasalahan seperti ini saya rasa sudah biasa bagi mereka. Rasanya jauh sekali jika dibandingkan dengan anak-anak yang sekolah di perkotaan. Jalanan besar, banyak kendaraan lalu lalang, bahkan ada juga yang diantar pakai mobil dengan supir pribadi, sehingga mereka tidak perlu pusing memikirkan bagaimana caranya berangkat dan pulang sekolah.

            Lanjut nih, bicara soal gedung sekolahnya. Pernah ke kota? Liat gedung-gedung sekolah yang ada disana? Gimana? Menjulang tinggi kan. Gedung sekolah yang indah, membuat mata nyaman melihatnya. Coba deh bandingin sama gedung sekolah yang ada di penjuru negeri ini. Gedung sekolah yang kotor dan kusam hingga matapun malas melihatnya. Jangankan melihat, mengintipnya saja pasti mata kita tidak betah. Gedung yang hampir roboh karena kayunya sudah mulai menua, serta gedung yang ketika musim hujan tiba membuat kehujanan dan ketika musim panas membuat kepanasan karena gentingnya banyak yang berlubang. Kalau gedungnya saja seperti itu, bagaimana anak-anak ini bisa nyaman ketika belajar?

            Pernah dengar atau membaca kata-katanya bung Hatta yang ini “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku. Dengan buku aku bebas”. Mau dipenjara atau tidak, anak-anak yang menuntut pendidikan di pelosok negeri juga jarang memiliki buku. Ada paling hanya gurunya yang punya atau beberapa anak saja dengan jumlah buku yang pas-pasan. Kata orang buku itu jendela dunia, lantas jika keadaannya seperti itu bagaimana cara mereka melihat dunia? Apakah mereka harus terpenjara dalam gelapnya kebodohan tanpa tahu berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang? Sungguh keadaan yang mengenaskan. Permasalahan tentang buku saja sudah sangat mengenaskan, lantas bagaimana dengan permasalahan teknologi disana? Mungkin masih banyak anak-anak disana yang belum mengenal teknologi. Belum lagi ditengah-tengah pandemi covid-19 ini, pemerintah mengharuskan anak-anak dengan belajar secara online. Belajar secara tatap muka saja sudah susah, apalagi secara online. Apakah mereka tidak perlu belajar? Dengan adanya pandemi ini, saya berharap kalian tidak patah semangat untuk terus belajar ya.

            “Simpanlah tas dan bukumu, lupakan keluh kesalmu, libur tlah tiba, libur tlah tiba, hatiku gembira” Ketika libur semester tiba, hal petama yang kita pikirkan pasti berlibur. Sepertinya anggapan kita ini kurang selaras dengan anak-anak pelosok negeri ini. Karena bagi mereka, masa liburan ialah masa yang paling tepat untuk membantu orangtuanya. Banyak dari mereka yang bekerja dengan tujuan untuk meringankan beban orangtuanya. Mungkin ada yang kerja di kawasan eksploitasi pertambangan, membantu ibunya berjualan di pasar, atau ada juga yang membantu ayahnya berlayar.

            Tapi dari sekian banyaknya permasalahan, ironisnya masih ada saja orangtua yang lebih memilih untuk menjadikan anaknya sebagai kuli dan buruh daripada harus bersekolah. Bagaimana anak-anak ini dapat berkembang, jika tempat pertamanya untuk memperoleh pendidikan saja sudah mengajarkan hal yang kurang baik. Alasan klasiknya karena kekurangan biaya, padahal pemerintah sudah menyediakan banyak peluang yang dapat diambil seorang anak sehingga dapat bersekolah tanpa harus terbebani biaya pendidikan. Untuk itu mari kita tersadar, bahwa pendidikan itu sangat bermakna, dengan pendidikan inilah kita dapat keluar dari jeratan kesengsaraan, keluar dari gelapnya kemiskinan, dan mampu keluar dari dalamnya jurang kebodohan.

            Tulisan ini bukan kritikan atau sindiran untuk siapapun. Lewat tulisan ini, mari bersama-sama kita majukan pendidikan di negeri ini. Karena untuk memajukan pendidikan tidak hanya diperlukan peran pemerintah, namun juga memerlukan aspirasi dari seluruh masyarakat. Jangan hanya karena keterbatasan biaya dan teknologi membuat anak-anak negeri ini putus dalam mengenyam pendidikan. Pemerintah juga telah berupaya semaksimal mungkin, maka dari itu mari kita kerahkan segala yang kita mampu. Tidak harus dengan tindakan yang besar, mungkin dapat dimulai dengan menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan kecil yang bermanfaat, seperti rajin membaca buku, pantang menyerah, rajin belajar, dan sebagainya. Kebiasaan-kebiasaan ini lama-kelamaan pasti akan berubah menjadi tindakan yang besar, seperti menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pendidikan, memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan, dan tindakan lainnya yang mampu memberikan perubahan yang nyata untuk pendidikan Indonesia.





ADA CERITA TENTANG CITA-CITA DI TENGAH PANDEMI CORONA “Bahkan jika kabut asap merupakan risiko bagi kehidupan manusia, kita harus i...